Masa Bercocok Tanam Pada Zaman Praaksara ~ Munculnya masyarakat pertanian tersebut diperkirakan dimulai pada zaman Mesolithikum Akhir (zaman Batu Tengah Akhir). Pendukung masa bercocok tanam adalah manusia Homo Sapiens dari kelompok bangsa Proto Melayu yang datang dari daratan Asia menuju Indonesia beberapa ribu tahun yang melalui jalan barat (kebudayaan Kapak Persegi) dan jalan timur (Kebudayaan Kapak Lonjong). Ketika manusia zaman praaksara mulai mengenal teknik bercocok tanam dan sudah hidup menetap di suatu tempat, maka lahirlah pola kehidupan masa bercocok tanam atau bertani. Pada masa ini diperkirakan daerah-daerah yang ditempati manusia purba semakin meluas dan mereka sudah mampu menghasilkan bahan makanan sendiri.
Pada zaman ini, kehidupan manusia praaksara sudah beralih dari berburu dan mengumpulkan makanan (hunting and food gathering) ke cara hidup menghasilkan makanan (food producing). Adanya kemampuan menghasilkan makanan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba sudah menetap secara permanen. Tempat hidup manusia purba terdapat di dekat sungai, danau, bukit, dan hutan serta tempat-tempat yang dekat dengan air. Mereka sudah tidak tinggal di gua-gua, tetapi sudah menghuni rumah-rumah panggung yang dibangun secara sederhana. Rumah-rumah panggung tersebut didirikan agar dapat terhindar serangan binatang buas.
Pola hidup food producing akan selalu diikuti oleh cara hidup menetap (sedenter). Adanya kehidupan menetap biasanya memunculkan kesadaran perlunya penataan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, perlu ditetapkan adanya aturan bersama guna mengatur kehidupan bermasyarakat. Kehidupan pertanian membutuhkan solidaritas sosial dan penguasaan teknologi sederhana. Misalnya, sistem gotong-royong dalam pembukaan sawah. Selain itu, perlu ditetapkan seorang pemimpin (primus interpares) yang dapat menjamin tata tertib hidup bermasyarakat. Dari proses pembentukan masyarakat tersebut lahirlah desa-desa sederhana yang berbasis ekonomi pertanian.
Pada masa bercocok tanam masyarakat purba juga sudah pandai membuat perahu sederhana yang digunakan untuk menangkap ikan. Proses pembuatan perahu dilakukan dengan melubangi potongan-potongan kayu besar dengan api. Selanjutnya, lubang tersebut diperdalam dengan beliung sehingga menyerupai bentuk lesung. Pada saat itu diduga telah ada kegiatan perdagangan barter dengan cara tukar-menukar barang guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Peralatan hidup yang masih dapat dijumpai saat ini dari kehidupan masa bermukim dan bercocok tanam adalah sebagai berikut:
Beliung Persegi
Beliung persegi berbentuk seperti cangkul dengan ukuran 4-25 cm. Alat ini dibuat dari batuan kalsedon, agat, chert, dan jaspis, Tipe umum beliung persegi adalah beliung dengan variasinya yang berupa beliung bahu, beliung tangga, beliung gigir, beliung atap, beliung biolam dan beliung penarah. Daerah penemuan beliung persegi meliputi hampir seluruh Indonesia terutama di bagian barat. Alat semacam itu juga ditemukan di Malaysia, Thailand, Kampuchea, Vietnam, Cina dan Taiwan. Dengan demikian, jelaslah bahwa kebudayaan beliung persegi dibawa oleh orang-orang dari Asia Tenggara melalui bagian barat.
Kapak Lonjong
Kapak lonjong dibuat dari batu kali jenis nefrit yang telah diasah lebih halus dari pada kapak persegi. Daerah penemuannya terbatas di wilayah bagian timur Indonesia. Hal itu sesuai dengan penelitian Van Heekeren dan W.F. Van Beers yang mengatakan bahwa di Kalumpang (Sulawesi Utara) sudah terjadi perpaduan antara tradisi kapak persegi dan kapak lonjong. Penemuan itu ditaksir sangat muda, yaitu pada 600 - 1.000 tahun yang lalu. Di Papua juga ditemukan kapak lonjong.
Mata Panah
Mata panah juga ditemukan pada masa bermukin dan bercocok tanam. Daerah penemuan yang penting ialah Pacitan (Jawa Timur) dan Toala (Sulawesi Selatan). Mata panah bergerigi dan bilah bergerigi dari kebudayaan Toala ditemukan di Toala, Sulawesi Selatan.
Gerabah dan Perhiasan
Hasil penelitian membuktikan bahwa alat-alat gerabah sudah mulai dibuat pada masa bermukim dan bercocok tanam, tetapi pembuatannya masih kasar dan sederhana. Alat gerabah ini pertama kali digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan minuman, kemudian berkembang digunakan sebagai alat memasak. Bersamaan dengan itu, barang perhiasan juga mulai dibuat. Misalnya, gelang dari batuan kelsedon, manik-manik dari tanah liat, kalung dari kulit kerang, dan lukisan berwarna-warni. Aneka lukisan itu dapat dijumpai dalam masyarakat pedalaman. Misalnya, di Toraja dan Papua.
Manusia prasejarah pada masa bermukim dan bercocok tanam sudah mengenal suatu kepercayaan terhadap kekuatan gaib atau luar biasa di luar kekuatan manusia. Mereka percaya terhadap hal-hal yang menakutkan atau serba hebat. Selain itu, mereka juga memuja roh nenek moyangnya. Kadang kala kalau melihat pohon yang besar, tinggi dan rimbun, manusia merasa ngeri. Manusia purba menganggap bahwa kengerian itu disebabkan pohon itu ada yang menghuni. Begitu pun terhadap batu besar serta binatang yang besar atau menakutkan, mereka juga memujanya. Kekuatan alam yang besar, seperti petir, topan, banjir, dan gunung meletus yang dianggap menakutkan dan mengerikan juga dipuja. Jika terjadi letusan gunung berapi, mereka beranggapan bahwa yang menguasai gunung sedang murka.
Selain memuja benda-benda dan binatang yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia praaksara juga memuja arwah para leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek moyang tinggal di tempat tertentu. Menurut pendapat mereka, tempat roh itu sangat tinggi, misalnya di atas puncak gunung dan di pucuk pohon tinggi. Untuk tempat turunnya roh nenek moyang inilah, didirikan bangunan Megalithikum yang pada umumnya dibuat dari batu inti utuh, kemudian diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan. Sistem kepercayaan masyarakat pada masa bermukim dan bercocok tanam dapat dibedakan atas dua hal.
Dinamisme
Dinamisme adalah kepercayaan adanya kekuatan gaib yang terdapat pada benda-benda tertentu. Misalnya pada pohon, batu besar, gunung, gua, senjata, dan jimat. Mereka menaruh hormat dan memuja benda-benda tersebut.
Animisme
Animisme adalah kepercayaan bahwa roh (jiwa) itu tidak hanya berada pada makhluk hidup tetapi juga pada benda-benda tertentu. Roh-roh itu dapat berbuat baik, tetapi juga dapat berbuat jahat. Agar roh itu tidak berbuat jahat, manusia perlu memujanya sambil memberi sesaji.
Praktik religi dan kepercayaan berupa pemujaan arwah para leluhur masih dianut oleh suku-suku pedalaman di Indonesia. Misalnya, suku bangsa Dayak di Kalimantan yang masih mempraktikkan ritual-ritual animisme dan dinamisme warisan nenek moyang. Kegiatan keagamaan dalam bentuk upacara adat seperti pemujaan roh leluhur tersebut dianggap sebagai aliran kepercayaan. Misalnya, tradisi kepercayaan Megalithikum masyarakat Nias, tradisi kepercayaan masyarakat Siberut, tradisi kepercayaan masyarakat Badui, tradisi kepercayaan masyarakat suku Wana, tradisi kepercayaan Marapu masyarakat Sumba, dan tradisi kepercayaan masyarakat Asmat di Papua.
Oleh Herimanto
loading...