Fakta Inspiratif ~ Historiografi tradisional berkembang pada masa kerajaan tradisional di Indonesia. Penulisan sejarah masa kerajaan tradisional digunakan untuk merekam dan mewariskan kehidupan dinasti yang berkuasa kepada generasi berikutnya. Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang lebih mengedepankan unsur keturunan (geneologi), tetapi mempunyai kelemahan dalam struktur kronologi dan unsur biografi. Sejarah tradisional lebih menekankan pada unsur bercerita. Penulisan sejarah tradisional umumnya tentang kerajaan, kehidupan raja, dan sifat-sfat yang melebih-lebihkan raja dan para pengikutnya. Hubungan sebab akibat tidak tampak yang terpenting mengagungkan raja dan kejayaan kerajaan. Historiografi masa tradisional berkembang pada masa Hindu-Budda dan Islam.
Zaman Hindu-Buddha
Tradisi tulis pada masa Hindu-Buddha berkembang dengan pesat sehingga tercipta 1000 buah naskah di seluruh Nusantara. Berdasarkan isinya, bentuk-bentuk kesusastraan pada masa Hindu-Buddha tersebut terdiri atas tutur, (kitab keagamaan), castra (kitab hukum), wiracarita (cerita kepahlawanan), dan kitab-kitab cerita yang berisi ajaran keagamaan, sejarah dan moral.
Sampai dengan zaman Majapahit, bahasa yang dipakai dalam naskah sejarah adalah bahasa Jawa Kuno. Sesudah zaman Majapahit bahasa yang dipakai dalam naskah sejarah adalah bahasa Jawa Tengahan. Berdasarkan bentuknya, naskah sejarah zaman Hindu-Buddha terdiri atas gancaran (prosa), dan tembang (puisi). Tembang pada masa Jawa Kuno disebut kakawin dan tembang pada masa Jawa Tengahan disebut kidung.
Pada masa Kerajaan Kediri terjadi perkembangan di bidang penulisan sejarah. Pada masa itu, telah dihasilkan karya sastra dengan judul Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa pada tahun 1035. Kitab Arjuna Wiwaha berisi kisah kehidupan Raja Airlangga yang dianggap sebagai tokoh Arjuna. Agama yang berkembang pada masa pemerintahan Airlangga ialah agama Hindu aliran Wisnu atau Waisnawa sehingga Airlangga dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu yang bertugas memelihara perdamaian dunia. Pada masa pemerintahan Jayabaya, Jayabaya pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena tidak mampu menyelesaikannya, maka penulisan kitab Bharatayuda tersebut dilanjutkan oleh Empu Panuluh.
Zaman Islam
Pada masa Islam, tradisi penulisan sejarah terus berlanjut. Tema-temanya sebagian ada yang disesuaikan dengan kebudayaan Islam, sedangkan sebagian lainnya merupakan hasil ciptaan baru. Adapun jenis-jenis penulisan sejarah zaman Islam meliputi hikayat dan babad. Walaupun karya-karya sejarah tersebut tidak mengandung unsur kronologi suatu peristiwa sejarah, namun isinya menunjukkan tradisi tulis yang menjadi dasar dimulainya tradisi sejarah. Tradisi tulis tersebut terkait dengan kebudayaan Hindu-Buddha, Islam, atau sintesis dari dua kebudayaan tersebut. Hasil-hasil kesusastraan Islam yang berkembang di daerah Jawa, sebagian besar merupakan perkembangan dari kesusastraan zaman Hindu-Buddha yang disesuaikan dengan budaya Islam. Sementara itu, di daerah sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) sebagian besar merupakan hasil dari karya sastra dalam bentuk baru.
Hikayat
Hikayat adalah karya sastra tradisional berisi cerita sejarah atau cerita roman yang dibaca sebagai pelipur lara, pembangkit semangat juang, dan untuk meramaikan pesta. Kisah sejarah berbentuk hikayat adalah Sejarah Negeri Kedah, Hikayat Aceh, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu (Sullalatussalatin), Hikayat Hasanuddin, Sejarah Raja-Raja Riau, dan Tuhfat al Nafis. Pada zaman dahulu di Pulau Sumatera, hikayat menjadi suatu tradisi yang selalu dibaca saat diselenggarakannya suatu perjamuan atau pesta.
Babad
Babad adalah cerita sejarah tradisional di kalangan masyarakat Jawa. Babad ditulis oleh pujangga keraton untuk memperkuat legitimasi sejarah raja yang sedang berkuasa. Cerita babad berisi riwayat hidup raja, silsilah raja sebagai pusat kekuasaan dan pusat dunia, hubungan raja dengan dinasti-dinasti sebelumnya atau dengan para Nabi dan dewa-dewa. Misalnya, Babad Tanah Jawi, Babad Giyanti, dan babad pasundan. Oleh karena itu, cerita babad mengandung hal-hal yang irasional dan mencampurkanadukkan antara mitos dan realitas. Misalnya, dalam kitab Babad Tanah Jawi, Sutawijaya mendapat pulung (cahaya sakti) untuk berkuasa sebagai raja pendiri dinasti Mataram. Namun, kisah babad yang berkembang pada abad ke-18, seperti babad giyanti, babad diponegoro, babad nitik sultan agung, dan babad banten mulai mengandung kebenaran sejarah. Sebagai kisah sejarah babad merupakan sumber sejarah mengenai keadaan masyarakat pada masa itu. Namun, sifatnya yang regiosentris dan istanasentris memerlukan penafsiran yang kritis dalam penelitian sumber sejarah tradisional tersebut.
Ciri-Ciri Historiografi Tradisional
Karena ditulis oleh pujangga kerajaan maka historiografi tradisional hanya merekam kehidupan kalangan istana dalam bentuk hikayat, kronik dan syair sejarah. Ciri-ciri historiografi tradisional, antara lain sebagai berikut.
Bersifat Istanasentris, Religiomagis, dan Regiosentris
Historiografi tradisional bersifat istanasentris, religiomagis, dan regiosentris. Istanasentris artinya kisah sejarah tradisional hanya berisi kehidupan raja atau keluarga kerajaan yang berdiam di istana. Religiomagis artinya kisah sejarah tradisional selalu dihubungkan dengan kepercayaan mengenai hal-hal yang bersifat gaib. Raja atau pemimpin kadang-kadang juga digambarkan sebagai seorang yang sakti dan memiliki hubungan dengan makhluk-makhluk gaib atau dewa-dewa setempat yang menguasai kekuatan alam gaib. Regiosentris artinya historiografi tradisional menyajikan kisha sejarah mengenai pengalaman kolektif suatu kelompok masyarakat pada masa lalu. Misalnya, kisah babad kerajaan Jawa hanya membahas lingkungan budaya masyarakat Jawa masa tradisional.
Memperkuat Legitimasi Penguasa
Di dalam kisah historiografi tradisional, para pujangga istana menyusun silsilah yang menghubungkan raja dengan dinasti-dinasti sebelumnya atau dengan para nabi dan dewa. Misalnya, dalam hikayat Melayu, raja-raja Melayu selalu dikaitkan dengan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun dibukit Siguntang. Tujuan pemberian silsilah tersebut ialah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan raja sebagai keturunan dari raja-raja terdahulu. Namun, isi tulisan tersebut tidak didukung oleh fakta sejarah.
Oleh Herimanto
loading...